Senin, 14 Desember 2015

Ahnaf bin Qaif, Rasulullah Mendoakannya

     Tahun ketiga sebelum hijrah, lahirlah seorang anak laki-laki. Ia diberi nama Adh-Dhahak. Ayahnya bernama Qais bin Muawiyah As-Sa'di. Si anak memiliki kaki yang tak sempurna. Kedua kakinya bengkok, membentuk huruf X. Karenanya orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Ahnaf. Ahnaf bin Qais. Julukan ini lebih terkenal daripada nama aslinya.

     Ahnaf bin Qaif tumbuh sebagai anak yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Namun, cahaya Islam telah bersinar di hatinya, sejak ia masih berusia belasan tahun.

     Beberapa waktu sebelum hijrah, Rasulullah mengutus beberapa sahabatnya ke desa tempat tinggal Ahnaf. Mereka diutus berdakwah di sana. Para sahabat Nabi mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

     Para sahabat Nabi menerangkan tentang Islam, tentang iman kepada Allah, tentang Muhammad yang diangkat menjadi Rasul. Mendengar dakwah Islam yang masih asing, orang-orang terdiam. Mereka saling berpandangan, ragu-ragu untuk menerima Islam. Tiba-tiba, Ahnaf yang masih muda berdiri dan berbicara, "Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian ragu? Demi Allah, utusan yang datang kepada kita ini adalah orang-orang terbaik. Mereka mengajak kita untuk berakhlak yang luhur dan melarang perbuatan tercela. Demi Allah, semua yang kita dengar dari mereka adalah kebaikan. Maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kita akan bahagia dunia dan akhirat."

     Akhirnya, Ahnaf dan kaumnya memeluk Islam. Mereka lalu mengirimkan utusan untuk menemui Rasulullah. Namun Ahnaf tidak ikut serta, karena masih terlalu muda. Meski tidak ikut, namun Ahnaf mendapatkan ridha dari Rasulullah. Nabi juga berdoa untuk kebaikan Ahnaf. Doa Nabi ini adalah kabar gembira bagi Ahnaf.

     Suatu hari, ketika Ahnaf sedang melakukan thawaf, dia berjumpa dengan  seorang sahabat Nabi yang dahulu berdakwah di kampungnya. Sahabat Nabi ini datang menemui Ahnaf dan berkata, "Maukah aku berikan kabar gembira kepada Anda?"

     Ahnaf menjawab, "Ya, tentu saja."

     Sahabat Nabi tersebut berkata, "Ingatkah Engkau sewaktu aku diutus oleh Rasulullah untuk menyeru kaummu kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Engkau berkata sesuatu kepada mereka?"

     Ahnaf menjawab, "Ya, aku ingat."

     Sahabat Nabi berkata lagi, "Sekembalinya aku menghadap Rasulullah, aku menceritakan tentang Engkau dan apa yang Engkau katakan. Lalu beliau berdo'a, "Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf."

     Mendengar kabar itu, Ahnaf sangat gembira. Dia berkata, "Tidak ada satu pun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali doa Nabi itu."

     Ahnaf bin Qais sangat dihormati kaumnya. Padahal ia bukan pemimpin dan tidak memiliki jabatan. Ayah dan Ibunya juga bukan tokoh masyarakat. Tapi, Ahnaf justru dianggap tokoh dan pemimpin oleh kaumnya.

     Suatu ketika, ada yang bertanya kepada Ahnaf, "Bagaimana kaummu bisa menganggapmu sebagai pemimpin, wahai Ahnaf?"

     Ahnaf bin Qais mejawab, "Barang siapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimipin kaumnya dan tak akan terhalang mendapatkan kedudukan itu."

     Orang itu bertanya lagi, "Apakah empat hal itu?"

     Ahnaf bin Qais menjawab, "Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya,"

     Itulah keseharian Ahnaf bin Qais. Orang yang selalu zuhud dan tekun beribadah. Jika malam, dia mengisinya dengan shalat dan berdzikir. Setiap kali teringat dosa-dosanya, dia letakkan jarinya diatas api sambil berkata, "Hai Ahnaf, rasakanlah ini. Bila Engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin Engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa bersabar dengan pedihnya? Ya Allah, bila Engkau memberiku ampunan, memang Engkau yang berhak memberiku ampunan. Bila Engkau siksa aku, memang layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu."